Buruknya infrastruktur darat maupun laut,
mengakibatkan adanya perbedaan sistem logistik nasional di Indonesia yang
sangat mencolok. Ini jika dibandingkan antara sarana dan prasana antara sarana
dan prasarana antara wilayah barat dan
timur Indonesia. Infrastruktur yang kurang memadai tersebut, membuat wilayah
timur maupun pulau-pulau kecil dan terluar di Indonesia sulit dijangkau.
Kondisi tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan
kondisi geografis Indonesia, yang diuntungkan sebagai negara maritim. Pasalnya,
jika pemerintah mampu memberikan fasilitas yang baik khususnya sistem
transportasi dan infrastruktur laut, maka kesenjangan tidak akan terjadi.
Menyediakan short sea shipping dan pelabuhan yang memadai guna menyangkut
kebutuhan logistik rakyat maupun industri merupakan solusi menutup gap
infrastruktur tersebut.
“Sislognas (sistem logistik nasional) yang paling
krusial bukan hanya wacananya saja tetapi pelaku di dalamnya seperti seluruh
stakeholder dari pelaku logistik, logistik provider, pemerintah pusat, dan
daerah. Semuanya harus berpadu agar semua bisa berjalan. Jika saat ini semua
masih berjalan sendiri-sendiri sistem apapun termasuk sislognas tidak akan
jalan,” ungkap pakar logistik ITB Professor Senator Nur Bahagia dalam Seminar
CENS UI tentang transportas nasional, 12 November 2013.
Perhelatan seminar itu juga diisi paparan dari
Ditjen Perhubungan Laut Bobby Mamahit, Bappenas, INSA, Asosiasi Logistik, dan
MTI.
Adapun beberapa persoalan dalam sislognas yang perlu
diperhatikan. Pertama, manajemen pelabuhan sekarang ini tidak efisien dan
regulasi juga tumpang tindih. Para pelaku bisnis logistik maupun transportir
masih kerap merasakan urusan di pelabuhan terbelit-belit. Selain itu,
infrastruktur jalan di Indonesia yang buruk, termasuk transportasi yang ada
saat ini belum menunjang untuk mendukung sislognas.
“Jadi kalaupun pelabuhan sudah memadai, namun
infrastruktur penunjang yang menuju ke sana tidak disediakan akan percuma. Itu
tetap menyebabkan biaya logistik mahal,” ungkap Senator.
Kendati demikian, menurut penelitian Senator, upaya
pemerintah memperbaiki situasi ini sudah lumayan semenjak adanya UU No. 17
tahun 2008 tentang Pelayaran. Ada klausal di UU itu, di setiap pelabuhan ada
Otoritas Pelabuhan (OP). Badan ini yang seharusnya memonitor dan
mengkoordinasikan sejak kapal itu datang hingga keluar pelabuhan. Di atas
kertas alias secara legal formal ada otoritas pelabuhan untuk mengawasi arus
keluar masuk barang, namun fakta di lapangan sering berbeda.
Seharusnya, ada suatu badan seperi OP yang menegur
jika terjadi masalah di pelabuhan. Dari pengamatan Senator terhadap Pelabuhan
Tanjung Priok, sekaran ini peran otoritas pelabuhan masih terpisah-pisah.
Dicontohkan kapal ingin bersandar diurus oleh syah bandar, masuk ke pelabuhan
diurus Jakarta International Terminal Container (JITC)/Pelindo II, begitu mau
keluar ada custom alias bea cukai serta badan karantina.
Nah, karena ada banyak kewenangan di pelabuhan seperti itu jika ada
kemacetan (kongesti) siapa yang bisa menegur? Jelas termuat di UU 17/2008 pihak
OP yang bertanggung jawab atas pengelolaan pelabuhan, mereka harus berani
menegur.
“Ini bary masalah di wilayah barat, bagaimana dengan
yang di wilayah timur? Jika yang di wilayah timur tentu lebih kompleks lagi.
Karena perilaku orang di sana masih buruk,” tutas Senator.
Biaya siluman adalah momok yang menghambat
kelancaran sekaligus efisiensi sistem logistik nasional. Hal itu sudah menjadi
rahasia umum para pelaku logistik. Di luar biaya siluman, sejumlah daerah
justru membuat Peraturan Daerah (Perda) dengan memungut retribusi di jalan raya
dan sekitar pelabuhan, namun tidak memikirkan kualitas infrastruktur sehingga
meningkatkan biaya logistik.
Satu hal, pemerintah perlu mendorong moda kereta api
agar jalu logistik setelah dari pelabuhan atau bandara tidak bertumpu pada
angkutan darat. Hal ini perlu dikoordinasikan dengan kalangan perhubungan laut,
udara, dan darat. Memaksimalkan moda kereta api akan menurunkan beban jalan
raya, polusi, terhindat dari kemacetan, dan penghematan bahan bakar.
Di sisi lain pemerintah amat menyadari transportasi
laut sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Karena itu, pemerintah
menggenjot pembangunan infrastruktur pelabuhan.
Dirjen Perhubungan Laut Bobby Mamahit mengungkapkan
pihaknya saat ini fokus pada pembangunan pelabuhan. Hal ini untuk meningkat
daya saing. Konektivitas antarpulau maupun negara, dan penurunan disparitas
biaya.
Ada tiga pelabuhan utama di Indonesia yang menjadi
bagian dari upaya pengembangan infrastruktur pelabuhan nasional yakni Pelabuhan
Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya); dan Pelabuhan
Belawan (Medan).
Adapun pelabuhan yang mendesak untuk dikembangkan
pada kurun waktu lima tahun ke depan antara lain pelabuhan Banjarmasin,
Pontianak, Batam, Madura, Cilamaya, Palembang, Kuala Tanjung, Bitung, dan
Panjang.
Beberapa pelabuhan dikembangkan karena memiliki
kepentingan strategis demi mendongkrak daya saing. Seperti pembangunan Kuala
Tanjung sebagai ekspansi dari Pelabuhan Belawan, Medan. Posisi Kuala Tanjung
yang langsung berbatasan dengan selat Malaka guna mengimbangi pelabuhan
internasional Singapura dan Port Klang, Malaysia, Sementara pelabuhan Bitung,
Sulawesi Utara layak dikembangkan mempunyai posisi berhadapan langsung ke laut
Pasifik yang terbuka. Letak geografis Bitung dan memiliki laut dalam sangat
ekonomis untuk mengantisipasi arus barang dari Asia Timur.
Pemerintah cukup agresif dalam tiga tahun terakhir
dalam mengembangkan infrastruktur pelabuhan di sejumlah wilayah Tanah Air.
Berdasarkan skema Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) sejak tahun
2009 telah dibangun pelabuhan utama maupun perintis di 235 lokasi, tahun 2010
sebanyak 237 lokasi, tahun 2011 sebanyak 304 lokasi, tahun 2012 sebanyak 370
lokasi dan tahun 2013 sebanyak 328 lokasi.
Bobby menambahkan, akibat kebutuhan pembiayaan
investasi pengembangan pelabuhan yang mencapai US$ 7,064 juta hingga tahun 2013
membuat pemerintah sangat bergantung kepada pihak swasta.
“Sesuai dengan jumlah investasi tersebut, maka
komposisi pembagian rencana investasi pengembangan pelabuhan yang diharapkan
yaitu share pemerintah sebesar 14,906% dan share pihak swasta sebesar 68,3%,”
ujar Capt. Bobby Mamahit.
Ia mengungkapkan, dengan pembagian peran tersebut
terlihat ke depan, peran pihak swasta semakin besar dalam pembangunan sektor
transportasi laut. Skema APBN belum bisa menutup seluruh pembiayaan investasi
transportasi laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar