Jumat, 21 Maret 2014

Short Sea Shipping Solusi Untuk Sislognas

Written by Ikawati & Dawar - Jurnal Maritime Edisi Ke-8

 
Buruknya infrastruktur darat maupun laut, mengakibatkan adanya perbedaan sistem logistik nasional di Indonesia yang sangat mencolok. Ini jika dibandingkan antara sarana dan prasana antara sarana dan prasarana  antara wilayah barat dan timur Indonesia. Infrastruktur yang kurang memadai tersebut, membuat wilayah timur maupun pulau-pulau kecil dan terluar di Indonesia sulit dijangkau.

Kondisi tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan kondisi geografis Indonesia, yang diuntungkan sebagai negara maritim. Pasalnya, jika pemerintah mampu memberikan fasilitas yang baik khususnya sistem transportasi dan infrastruktur laut, maka kesenjangan tidak akan terjadi. Menyediakan short sea shipping dan pelabuhan yang memadai guna menyangkut kebutuhan logistik rakyat maupun industri merupakan solusi menutup gap infrastruktur tersebut.

“Sislognas (sistem logistik nasional) yang paling krusial bukan hanya wacananya saja tetapi pelaku di dalamnya seperti seluruh stakeholder dari pelaku logistik, logistik provider, pemerintah pusat, dan daerah. Semuanya harus berpadu agar semua bisa berjalan. Jika saat ini semua masih berjalan sendiri-sendiri sistem apapun termasuk sislognas tidak akan jalan,” ungkap pakar logistik ITB Professor Senator Nur Bahagia dalam Seminar CENS UI tentang transportas nasional, 12 November 2013.

Perhelatan seminar itu juga diisi paparan dari Ditjen Perhubungan Laut Bobby Mamahit, Bappenas, INSA, Asosiasi Logistik, dan MTI.

Adapun beberapa persoalan dalam sislognas yang perlu diperhatikan. Pertama, manajemen pelabuhan sekarang ini tidak efisien dan regulasi juga tumpang tindih. Para pelaku bisnis logistik maupun transportir masih kerap merasakan urusan di pelabuhan terbelit-belit. Selain itu, infrastruktur jalan di Indonesia yang buruk, termasuk transportasi yang ada saat ini belum menunjang untuk mendukung sislognas.

“Jadi kalaupun pelabuhan sudah memadai, namun infrastruktur penunjang yang menuju ke sana tidak disediakan akan percuma. Itu tetap menyebabkan biaya logistik mahal,” ungkap Senator.

Kendati demikian, menurut penelitian Senator, upaya pemerintah memperbaiki situasi ini sudah lumayan semenjak adanya UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Ada klausal di UU itu, di setiap pelabuhan ada Otoritas Pelabuhan (OP). Badan ini yang seharusnya memonitor dan mengkoordinasikan sejak kapal itu datang hingga keluar pelabuhan. Di atas kertas alias secara legal formal ada otoritas pelabuhan untuk mengawasi arus keluar masuk barang, namun fakta di lapangan sering berbeda.

Seharusnya, ada suatu badan seperi OP yang menegur jika terjadi masalah di pelabuhan. Dari pengamatan Senator terhadap Pelabuhan Tanjung Priok, sekaran ini peran otoritas pelabuhan masih terpisah-pisah. Dicontohkan kapal ingin bersandar diurus oleh syah bandar, masuk ke pelabuhan diurus Jakarta International Terminal Container (JITC)/Pelindo II, begitu mau keluar ada custom alias bea cukai serta badan karantina.

Nah, karena ada banyak  kewenangan di pelabuhan seperti itu jika ada kemacetan (kongesti) siapa yang bisa menegur? Jelas termuat di UU 17/2008 pihak OP yang bertanggung jawab atas pengelolaan pelabuhan, mereka harus berani menegur.

“Ini bary masalah di wilayah barat, bagaimana dengan yang di wilayah timur? Jika yang di wilayah timur tentu lebih kompleks lagi. Karena perilaku orang di sana masih buruk,” tutas Senator.

Biaya siluman adalah momok yang menghambat kelancaran sekaligus efisiensi sistem logistik nasional. Hal itu sudah menjadi rahasia umum para pelaku logistik. Di luar biaya siluman, sejumlah daerah justru membuat Peraturan Daerah (Perda) dengan memungut retribusi di jalan raya dan sekitar pelabuhan, namun tidak memikirkan kualitas infrastruktur sehingga meningkatkan biaya logistik.

Satu hal, pemerintah perlu mendorong moda kereta api agar jalu logistik setelah dari pelabuhan atau bandara tidak bertumpu pada angkutan darat. Hal ini perlu dikoordinasikan dengan kalangan perhubungan laut, udara, dan darat. Memaksimalkan moda kereta api akan menurunkan beban jalan raya, polusi, terhindat dari kemacetan, dan penghematan bahan bakar.

Di sisi lain pemerintah amat menyadari transportasi laut sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Karena itu, pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur pelabuhan.

Dirjen Perhubungan Laut Bobby Mamahit mengungkapkan pihaknya saat ini fokus pada pembangunan pelabuhan. Hal ini untuk meningkat daya saing. Konektivitas antarpulau maupun negara, dan penurunan disparitas biaya.

Ada tiga pelabuhan utama di Indonesia yang menjadi bagian dari upaya pengembangan infrastruktur pelabuhan nasional yakni Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya); dan Pelabuhan Belawan (Medan).

Adapun pelabuhan yang mendesak untuk dikembangkan pada kurun waktu lima tahun ke depan antara lain pelabuhan Banjarmasin, Pontianak, Batam, Madura, Cilamaya, Palembang, Kuala Tanjung, Bitung, dan Panjang.

Beberapa pelabuhan dikembangkan karena memiliki kepentingan strategis demi mendongkrak daya saing. Seperti pembangunan Kuala Tanjung sebagai ekspansi dari Pelabuhan Belawan, Medan. Posisi Kuala Tanjung yang langsung berbatasan dengan selat Malaka guna mengimbangi pelabuhan internasional Singapura dan Port Klang, Malaysia, Sementara pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara layak dikembangkan mempunyai posisi berhadapan langsung ke laut Pasifik yang terbuka. Letak geografis Bitung dan memiliki laut dalam sangat ekonomis untuk mengantisipasi arus barang dari Asia Timur.

Pemerintah cukup agresif dalam tiga tahun terakhir dalam mengembangkan infrastruktur pelabuhan di sejumlah wilayah Tanah Air. Berdasarkan skema Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) sejak tahun 2009 telah dibangun pelabuhan utama maupun perintis di 235 lokasi, tahun 2010 sebanyak 237 lokasi, tahun 2011 sebanyak 304 lokasi, tahun 2012 sebanyak 370 lokasi dan tahun 2013 sebanyak 328 lokasi.

Bobby menambahkan, akibat kebutuhan pembiayaan investasi pengembangan pelabuhan yang mencapai US$ 7,064 juta hingga tahun 2013 membuat pemerintah sangat bergantung kepada pihak swasta.

“Sesuai dengan jumlah investasi tersebut, maka komposisi pembagian rencana investasi pengembangan pelabuhan yang diharapkan yaitu share pemerintah sebesar 14,906% dan share pihak swasta sebesar 68,3%,” ujar Capt. Bobby Mamahit.

Ia mengungkapkan, dengan pembagian peran tersebut terlihat ke depan, peran pihak swasta semakin besar dalam pembangunan sektor transportasi laut. Skema APBN belum bisa menutup seluruh pembiayaan investasi transportasi laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar